• Licensed Promotor STIFIn Brain Surabaya
* Aktivis Kegiatan Psikologi, Pengembangan dan Pemberdayaan Diri
Dari tren global belakangan ini, muncul kesadaran baru bahwa memilih baju bukan sekadar urusan tampilan. Penelitian di Harvard menunjukkan bahwa mode dapat menjadi medium spiritual: memilih baju dengan niat, bukan sekadar mengikuti arus tren. Beberapa desainer dunia mulai menolak mode cepat dan merancang busana yang bermakna, lintas musim, dan berkelanjutan — meski tidak semua pelaku mode memahami dimensi kesadaran di balik perubahan ini.
Namun jauh sebelum wacana itu muncul, leluhur Nusantara telah lebih dulu melakukannya melalui kain dan motif. Dalam budaya kita, pakaian tidak pernah dipandang sebagai benda kosong. Ia adalah doa yang dijalin, nilai yang dijahit, dan pengetahuan yang disulam di antara benang. Buku Kode-Kode Nusantara karya Hokky Situngkir menunjukkan bahwa motif dan ornamen tradisional Indonesia menyimpan struktur kompleks yang sarat makna kosmologis dan sosial. Pola-pola tradisi itu menjadi bukti bahwa budaya kita sejak lama menempatkan estetika dan spiritualitas dalam satu tarikan napas yang sama.
Beberapa waktu lalu, dalam diskusi di komunitas Banyumili, R. Bagus Herwindro menjelaskan pandangan Jawa tentang rasa dan methuki wong. Ia mengatakan bahwa “Jawa selalu berbicara tentang rasa, bukan sekadar perasaan, melainkan situasi batin yang hadir lewat proses nyawang (mengamati).” Menurutnya, proses methuki wong — memahami diri dan orang lain — juga bisa dimulai dari hal sederhana seperti memilih pakaian.
Kain, dalam pandangan Jawa, bukan hanya penutup tubuh, tetapi juga pernyataan batin. Di sinilah pepatah ajining raga saka busana menemukan maknanya: harga diri seseorang terpancar dari kesadaran dalam memilih dan mengenakan busana. Dengan memahami motif dan warna yang kita pilih — apakah muncul dari karêp (hasrat akan penilaian dan status) atau dari rasa sejati — kita sebenarnya sedang berlatih mengenali siapa diri kita yang sesungguhnya.
Di banyak tempat di Indonesia, ada tradisi mengenakan batik setiap hari Jumat. Namun bagaimana jika kebiasaan itu kita maknai ulang, bukan sekadar rutinitas formal, melainkan latihan batin? Misalnya dengan bertanya, “Mengapa aku memilih motif ini hari ini? Apa nilai yang ingin kuhadirkan?” Dengan cara itu, berpakaian menjadi semacam praktik nyawang diri — mengenali suasana batin melalui warna dan pola yang menempel di tubuh.
Carl Jung menyebut perjalanan individuasi sebagai proses menyatukan sisi sadar dan bayangan dalam diri. Tradisi Jawa, dengan konsep rasa dan dialektika antara wong dan karêp, sesungguhnya mengajarkan hal serupa. Banyak pilihan yang kita kira bebas ternyata lahir dari karêp — ego, ambisi, dan kebutuhan pengakuan. Ketika kita berpakaian dengan sadar, kita belajar memilih bukan dari dorongan ingin terlihat, tetapi dari ketenangan ingin menjadi.
Motif sulur yang menjalar di kain, ukiran, hingga arsitektur masjid dan pura di Nusantara menjadi pengingat indah bahwa hidup spiritual bukan garis lurus. Ia berliku, merambat, dan tumbuh dari akar menuju cahaya. Sulur adalah simbol perjalanan manusia yang menyatukan estetika dan makna — antara keindahan yang tampak dan kesadaran yang tumbuh di dalam.
Akhirnya, berpakaian dengan kesadaran bukan berarti menolak mode atau keindahan. Ia justru mengembalikan kita pada makna awal berpakaian: sebagai refleksi jiwa dan penghormatan terhadap budaya. Pilihan motif, warna, dan bentuk bukan hanya gaya, tetapi cara kita berbicara dengan dunia tentang siapa kita sebenarnya. Karena setiap kain yang kita kenakan bisa menjadi doa harian — selama kita memilihnya dengan rasa, bukan sekadar karêp. ***